4 Jan 2012

Misteri malam juma'at




Aku terbangun dari tidurku, tanganku terasa kesemutan dan kaku, kakiku seperti susah digerakkan. Kucoba menggerakkan tanganku, ternyata tanganku terikat erat kebelakang, kucoba melepaskan diri dengan menggerakkan pergelangan tangan, rasa nyeri menyelimuti seluruh pergelangan tanganku, aku berkesimpulan, tanganku diikat dengan tali pramuka putih.
Sejenak aku berusaha melihat ke sekujur tubuhku di tengah kegelapan, aku melihat tali putih itu melilit melingkar di payudaraku, yang aku tahu pasti, aku masih berbusana lengkap, blus berkerah shanghai warna hitam tanpa lengan dengan kancing kancing warna perak yang berbaris dari ujung leherku hingga kebawah, terlihat kontras karena ada tali putih melintas atau tepatnya meliliti payudaraku bagian atas dan bawah.
Rok 10 cm dari lutut masih kukenakan, lalu kurasakan sepatu masih membungkus di kakiku, sepatu pemberian kekasihku, warnanya hitam, haknya 7 cm dengan model seperti pantofel dengan tali tipis dari karet yang melintang di pergelangan kaki. Kucoba gerakkan kakiku, oh ternyata terikat erat jadi satu. Sadarku mulai pulih sedikit demi sedikit, aku sedang terduduk, kucoba ayunkan kakiku, “Ough!”
Ternyata kakiku terikat dan kemudian diikatkan kembali ke kaki kursi, praktis tak bisa kugerakkan saking kencangnya ikatanku.
“Ugh.! ugh.!”
Aku mencoba menggerakkan badanku, tidak berhasil. Tubuhku terikat melalui dada ke lenganku, kemudian diikatkan pula ke sandaran kursi, jadi aku terikat dulu lalu diikatkan ke kursi. (bayangkan iklan close-up edisi penculikan, seperti itulah aku,)
Lalu aku mencoba berteriak minta tolong, yang kudengar suaraku adalah,
“Mmh, mmh,”
Ternyata mulutku disumbat dengan lakban, dari kegelapan dan daya rekatnya aku tahu ini lakban perak yang sering aku lihat dalam film-film. Seribu pertanyaan menyerbu benakku,. Aku berusaha mengumpulkan ingatanku atas kejadian yang terjadi sebelumnya.
“Ada apa dengan diriku?” hatiku bertanya-tanya sambil berpikir keras.
Oh, baru kuingat sekarang, tadi malam aku baru saja menyelesaikan tugasku di hotel hingga jam sebelas malam. Papi (suamiku) sedang bertugas ke Singapore, baru saja berangkat paginya, dia baru akan kembali minggu depan.
Kuingat-ingat lagi apa yang terjadi, malam itu aku menjamu teman-teman (tamu lebih tepatnya) dari sebuah stasiun TV, tepatnya sebuah rumah produksi yang krunya kebetulan mengadakan ‘shooting’ di kotaku dan menginap di hotel tempatku bekerja. Kami bercanda riang malam itu, lalu aku bersama-sama mereka melanjutkan dengan dugem ke Hard Rock Café di Kuta. Kemudian ingatanku terbayang saat GMku yang hari itu tidak masuk karena karena tensinya agak tinggi, mengirim SMS untuk langsung pulang saja jam sebelas malam dan terus menerus memastikan bahwa aku segera pulang.
“Nggak baik cewek kaya kamu masih ada di hotel sampai lewat jam sebelas!”
Begitu pesannya di SMSnya ditengah malam, hampir jam 24, yang aku tidak hiraukan karena kupikir aku sedang seru-serunya ngobrol dengan orang-orang TV itu. Kembali kuaktifkan ingatanku, belum pulih seutuhnya, yang aku ketahui kini, sesadarku dari tidurku, aku tahu bahwa aku sedang duduk terikat lengkap hingga sedikitpun tidak bisa bergerak.
Oh, aku mulai ingat lagi saat itu aku membawa kru TV itu ke Hard Rock Cafe. Mengapa tidak ada dalam memoriku kalau aku sampai di sana? Aku ingat lagi, aku mengemudikan Suzuki Vitaraku DK 369 MV. Mampir ke pompa bensin beserta mereka 4 pria dan 2 wanita selain aku. Sampai di situ saja aku ingat, setelah itu aku tidak ingat apa-apa, tahu tahu aku sudah berada di tempat segelap ini dengan penerangan 5 watt dalam keadaan terikat, kupastikan aku berada di sebuah gudang, entah di mana, oh.
Aku diculik..!! Seingatku saat mengisi bensin, tiba-tiba ada saputangan membekap mulut dan hidungku, kelihatannya datang dari kursi belakangku. Lalu aku tak sadarkan diri.
“Eh Mbak Mila, udah bangun yaa?” suara itu muncul dari kegelapan membuyarkan lamunanku.
Sosok yang tinggi besar itu hanya berbicara tepat disebelah lampu 5 watt itu, dan aku tak kuasa memandangnya karena silau.
“Srett..” lakban di mulutku dibukanya,.
“Denis! Apa yang kamu lakukan padaku, Lepaskan aku! Biarkan aku pulang,” teriakku.
“Hey, Dee .mmhh!! ..mmhh!!” kembali Denis menyumpal mulutku dengan lakban baru sehingga aku tak sempat memanggil lagi namanya.
“Istirahat dulu ya Mbak, nanti kita mulai jam 5 subuh!” katanya seraya memadamkan lampu yang 5 watt itu sehingga aku hanyut dalam kegelapan rasa bersalah ini begitu menyelimuti diri yang terikat erat ini.
Terbayang GM ku yang tengah sakit masih berusaha mengingatkan aku untuk segera pulang karena telah larut malam melalui SMSnya, dan aku begitu sombongnya mengacuhkan perintah dan perhatiannya padaku.
“Maafkan aku Pa’.”
Seruku dalam hati yang penuh sesal ini. Tak terasa air mataku berlinang, Papa, biasa aku memanggil GMku sangat perhatian dan menunjukkan sayangnya padaku. Entah kenapa, malam itu aku merasa ingin memberontak dari ketergantunganku padanya, sekarang tinggal sesal yang ada. Malam semakin larut ada bunyi jam kukuk, yang berbunyi dua kali, oh, masih jam 2 dini hari rupanya, lamanya waktu berjalan, rasa lelah, dingin, dan takut kembali menyelimuti diri yang terikat ini, tanpa terasa dalam keadaan terduduk dan terikat ini aku kembali terlelap.
Suasana pagi itu masih gelap, kurasakan tubuhku agak lebih nyaman, dan aku masih merasakan merasakan busana berbahan satinku itu masih membungkus tubuhku. Oh rupanya aku dalam posisi terbaring lagi kucari tanganku, kuharap yang kualami tadi hanya mimpi, ternyata tidak.
Berusaha aku gerakkan tanganku, terikat erat jadi satu ke atas dan kelihatannya diikatkan ke ujung yang permanen, mungkin kursi yang tadi mereka dudukkan aku terikat. Masih dengan tali pramuka yang sama. Mulutku penuh dengan kain-kain, masih tersumbat, tapi rasanya tidak dengan lakban tetapi rasanya bibir ini sedikit terbuka serta ada sapu tangan yang melintas diantara bibirku yang menyumpal mulutku, yang ternyata ujung simpulnya diikatkan ke tengkukku.
“Mmhh.. mmhh..!!” Sia sia usahaku bersuara. Kakiku terasa tidak terikat lagi jadi satu, tapi, ugh! tetap tak bisa kugerakkan. Perlahan kucoba mengangkat kepalaku, menggeleng-geleng sedikit kepalaku agar rambutku yang panjang tidak mengganggu penglihatanku, oh kulihat kakiku mengangkang lebar dan terikat pada ujungnya masing-masing.
“Mmmhh..,” desahku begitu aku sadari bahwa kini aku terikat dan terbaring di atas sebuah meja panjang.
“Di mana Denis,. yang tadi sempat muncul..!” belum habis rasa ingin tahu dalam suasana misterius ini kemudian,
“OK, Take One! Action!!” suara seseorang bersamaan dengan menyalanya beberapa lampu sorot yang menghujam wajah dan tubuhku.
“Mmhh, mmhh,!! seruku dengan sekuat-kuatnya ingin meronta namun tidak ada gerakan berarti yang bisa aku lakukan. Sementara kulihat seseorang memanggul kamera menjelajahi tubuhku melalui kameranya dari ujung kedua kakiku, perlahan-lahan hingga sampai di wajahku, kemudian dia menyorot lama diwajahku sebelum menyoroti tanganku yang terikat jadi satu ke atas.
“Cut,!!” teriakan itu terdengar lagi.
“Sret..,” gelap pemandanganku karena mataku dilakban juga, aku pasrah, entah apa lagi yang akan dilakukan padaku. Aku rasakan tubuhku menjadi miring, sepertinya mereka mengangkat meja di bagian kepalaku, dimana tanganku yang terikat berujung.
“Take Two! Ready? Action!!” aba-aba itu terdengar lagi.


Aku juga rasakan celana dalamku disobek, mungkin dengan gunting atau pisau lalu kurasakan ada lidah yang menjelajah tubuhku, mulai dari sepatuku, menjalar ke betis kiriku, betis kananku, naik pelan-pean ke lututku, basah yang terasa membuat geli dan sedikit mulai terangsang. Aku berusaha menahannya, kubayangkan kengerian akan keberadaanku yang diculik, terikat erat tanpa tahu apa yang akan terjadi. Ketika lidah itu tiba di paha, langsung naik pelan-pelan ke selangkanganku, rasa takut dan ngeriku hilang dan tiba tiba ada rangsangan yang semakin membara, dibenakku terbayang Papa dengan kekhawatirannya dalam sakitnya. Kurasa pipiku membasah menangis, karena kutahu dia pasti sangat cemas mencari kabar berita dariku.
“Aaghh,!” kurasakan batang penis yang besar masuk kedalam vaginaku secara paksa, aku tidak membiarkan diriku orgasme karena diriku diselimuti rasa sesal yang mendalam terhadap Papa. Sejenak kurasa mereka melepaskan sapu tangan yang menyumpal mulutku. Tak pelak suaraku lepas “Aauw, aghh, saa.. kit!!” seruku sementara kelihatannya pemerkosaku semakin bersemangat, sehingga vaginaku mulai basah karena cairan dariku keluar. Digerakkannyalah batang penisnya mundur, maju, mundur, maju, dengan lembut, tubuhku mulai menegang, irama penisnya menjadi semakin cepat kurasakan wajahnya mendekat ke leherku, kepipiku dan bibirku, oohh! Dia ingin mencumbuiku, kucoba menghindar dengan menggerakkan kepalaku, menggelengkan kepalaku. Tak terhindari, dia mulai mengulum bibirku namun aku tidak sudi bereaksi terhadap ciuman itu.
Lalu kurasakan tangan-tangan yang meraba-raba dan meremas payudaraku yang masih terbungkus busana dan BH. Kemudian tangan itu bergerak kearah leherku, tamatlah aku dia ingin mencekikku sampai mati,
“Aah, jangan mas, jangan bunuh aku,!”
“Bwaa.. ha.. haa!” suara itu begitu ramai, mungkin lebih dari 5 orang yang tadinya kucurigai, yang ada disitu. Tangan itu menekan keras tombol kancing keduaku.
“Auw.., sakit!!” hardikku.
Ada tangan yang lain membekap mulutku dengan kuat, “Mmhh, mmhh!” seruku sementara kancing keduaku kembali ditekan kuat dengan jempolnya. Kemudian tangan-tangan itu membuka kancing bajuku satu per satu, yang lain membuka BHku yang kebetulan dibuka dari depan. Bersamaan itu penis yang menghujam di vaginaku di cabutnya dengan kasar.
“Argh..!!” teriakku.
Angin terasa membelai tubuhku, dengan mata tertutup hanya itu yang bisa memastikan bahwa blus ku sudah terbuka semua namun masih menempel di tubuhku karena terikatnya payudara dan lenganku.
“Ahh.. ahh..” desahku saat bibir dan lidah entah siapa oknum jahanam itu yang mengisap-isap puting, serta menjilat-jilat payudaraku sehingga terasa geli dan pertahananku akhirnya memudar karena ada rasa kenikmatan yang lebih berhasil mendominasi perasaan sesal yang masih tinggal. Di dalam kegelapan akibat mata yang tertutup lakban ini aku rasa ada orang lain lagi yang mungkin mendapat gilirannya langsung memasukkan batang penisnya ke vaginaku melakukannya dengan sangat kasar sehingga rasa sakit yag tiada tara kembali membuatku tak sadar diri.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat aku siuman, aku rasa hari sudah agak siang, mungkin sekitar jam 15.00. Karena kudengar lagi suara Papa yang bak teriakan di atas gunung “Mila.., Mila..”
Oohh, Papa mencariku, kucoba membuka mataku, gudang tempat aku disekap sedikit lebih terang walau masih gelap dan sumpek, kulihat lampu sinar HPku berkelip-kelip. Ingin aku menggapainya namun aku sadari tanganku terbelenggu tak berdaya, mulutku kembali disumbat dengan lakban, dan pakaianku telah lengkap dan kelihatannya utuh.
Namun keadaan kali ini lebih mengenaskan, aku masih terikat seperti pertama kali aku sadari, namun tidak di kursi atau di atas meja tetapi mereka menggantungkan diriku dalam ikatanku yang di payudaraku ini entah menggantungkan kemana, sehingga tubuhku akan terayun-ayun bila saja aku meronta-ronta. Jarak ke bawah sekiraku adalah 3 meter.
“Oh, Papaa.. Aku takut jatuh!” di sudut lain ada pemandangan mengenaskan.
“Ough..,” kudengar suara erangan itu, aku kenal dengan suaranya, ada cahaya kamera yang menghujam tubuhnya, oh, itu Maya, kolegaku yang terkenal paling sexy di hotelku. Bagaimana bisa Maya terperangkap oleh mereka? Tak habis pertanyaan dari benakku. Aku lihat Maya, dengan blus kerah shanghai berwarna merah berkancing merah juga yang berbaris rapi ke leher, dan rok hitam, serta sepatu kerjanya yang dihiasi tali tipis di pergelangan kakinya, dalam kondisi yang serupa, terikat tangannya ke punggung dengan tali rafia kuning meliliti payudaranya dari atas dan bawahnya sehingga menyembul, kakinya juga terikat seperti diriku. Nasib Maya tidak berbeda sedikitpun dengan diriku, oh aku meronta-ronta, amarah ini begitu kuat sehingga tubuhku kembali terayun kencang.
“Jahanam kamu, jahanam!!” gumamku.
Kulihat Maya pingsan, namun masih saja menjadi bulan-bulanan mereka para pemerkosa. Dua orang dari mereka yang kini bertopeng kemudian menghidupkan televisi yang sengaja mereka pasang digudang itu. Oohh! aku melihat diriku disana dalam keadaan tak berdaya menjadi bulan-bulanan mereka.
“Mbak Mila, kalau nanti kami lepaskan Mbak, jangan lapor polisi dan jangan sekali-kali mengadukan ini, pokoknya begitu kami tahu Mbak melanggar, hmm ini akan kami siarkan secara nasional dalam konteks sinetron, atau akan kami upload ke situs-situs dewasa di seluruh dunia. “Bwaa ha.. ha.. ha..!!” ancam salah stu dari mereka.
“Dan bilang juga sama Mbak Maya ya..”
“Uh, mmhh!!” hanya itu yang keluar dari mulutku ini.
“Papaa.. Papaa, tolong aku, lepaskan aku dari sini Paa,!!” hanya itu saja harapku agar Papa bisa mencoba mendeteksi keberadaanku, karena aku ingat nomor HPku yang satu lagi aku bawa jadi mungkin Papa bisa lacak lewat Location Data Services.
Rasanya hari sudah kembali malam, kulihat Maya yang terikat tak berdaya itu juga digantung persis seperti keadaan diriku, mataku kembali mencari-cari para penculik dan pemerkosa kami. Tidak kutemui, dari putaran waktu; aku menyadari kalau mereka kemungkinan sudah check out dan kembali ke Jakarta meninggalkan kami dalam keadaan seperti ini, aku tertidur dalam keadaan tergantung sementara kelihatannya Maya juga.
Sudah empat hari rasanya kami diculik dan disekap. Ketegangan yang begitu tinggi disertai rasa lapar, serta sakit yang beruntun mulai pergelangan kaki, tangan, serta maag yang belum diisi. Kulihat Maya, oh dia terjaga, tidak ada yang bisa kami komunikasikan kecuali saling pandang dan saling tatap keberadaan masing-masing yang sungguh mengenaskan.
“May,” ingin aku menyapanya namun hanya mmhh, yang terdengar; demikian juga Maya, kami cuma berharap Papa atau siapa saja bisa menemukan kami dalam keberadaan seperti ini entah kapan.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar